Tuesday, May 8, 2012

Keluasan Jiwa Ayah untuk Kegagalan Kita

Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tapi sesuatu yang tak terucapkan...
(Will Roger S)

Seorang laki-laki setengah baya duduk di atas tempat tidur. Wajahnya sumringah, penuh senyuman. Isterinya turut duduk di sampingnya. Dia memerhatikan lemari pakaian yang ada di depannya. Tatapannya berpendar pada seisi lemari pakaiannya. Dia mencari satu pakaian terbaik yang akan ia kenakan untuk menghadiri wisuda anak pertamanya. Satu per satu pakaian di dalam lemari tuanya dia keluarkan. Ada kemeja polos dengan warna usang, baju batik lengan panjang dengan dominasi warna cokelat muda, atau jas hijau berdebu yang terakhir kali dipakai ketika menghadiri acara pernikahan kerabat lima tahun yang lalu. Bersama istrinya, dia memilah-milah pakaian mana yang akan dia kenakan. Sampai akhirnya, pilihan jatuh pada jas tua berdebu yang kantong-kantongnya sudah mulai sobek.

"Nanti dijahit ya, Bu" begitu pinta laki-laki itu kepada istrinya.

Sang anak datang ke kamar orang tuanya. Dengan wajah kusut, seperti hendak menyampaikan sesuatu. Tapi masih tertahan di ujung lidahnya. Dirinya terancam gagal mengikuti sidang skripsi karena ada persyaratan yang belum bisa dipenuhi. Sang anak, melihat suasana hati dua orang yang paling dicintainya itu bahagia, tidak tega menyampaikan hal ini kepada mereka. Si anak mulai dengan pertanyaan basa-basi.

"Ayah, ini jas siapa?" tanya sang anak sambil mengambil posisi tempat duduk di samping ayahnya.

"Jas Ayah" jawabnya sumringah.

"Untuk apa dikeluarkan?" tanya buah hatinya penasaran.

Lantas ayahnya menjawab keheranan, "Lho, bukannya kamu mau wisuda?"

Si anak terdiam, cukup lama. Dalam diamnya dia menyusun kata-kata terbaik. Tiba-tiba air matanya mengalir. Sambil terisak, anak itu hanya berucap, "Maafkan saya, Ayah"

Sang ibu dengan spontan memeluk anaknya. Sementara sang ayah hanya menatap dan menepuk pundak anak itu. Sambil menatapnya tanpa kata-kata.

Sebenarnya si anak sangat terpukul dengan gagalnya dia menyelesaikan skripsi seperti yang ia janjikan kepada orang tuanya. Akhirnya, ia mengambil jas milik ayahnya dan meletakkan di dalam kamarnya untuk memotivasi dirinya agar bisa lulus di semester berikutnya. Ketika perasaan takut kalau-kalau dirinya tidak lulus itu datang, saat melihat jas itu tergantung di kamarnya, ia akan memperoleh energi baru dari jas ayahnya. Meskipun kedua orang tuanya tidak pernah menuntut kapan dia harus lulus, atau berapa nilai minimal yang harus dicapai, toh akhirnya, dia mampu lulus dengan nilai yang cukup baik.

To be continued... :)

Taken from: Tarbawi

No comments:

Post a Comment