Tuesday, May 8, 2012

Ayah adalah Ayah

Ayah adalah ayah. Dengan pengecualian pada kasus-kasus yang membuat seorang anak tidak beruntung lantaran berayah aneh. Tapi di bawah ufuk dan cakrawala kehidupan yang natural dan terbentang luas, ayah adalah ayah.

Pada bahunya yang melindungi, pada matanya yang mewanti-wanti, pada suaranya yang memperjelas batas-batas, pada bentuknya yang menandai, pada kata-katanya yang mudah, ayah kita adalah ayah dengan sebenar-benar ayah... Tentu banyak kurang di sana-sini. Tapi tidak adil rasanya kekurangan itu kita timpakan semua pada ayah kita sebagai pengurang berlebihan atas apa yang seharusnya kita tahu dan kita mengerti tentang ayah kita.

Faktanya, kita sering gagal menampung seutuhnya apa yang ayah definisikan tentang dirinya. Sebab, ayah kita sering 'mendefinisikan dirinya tanpa definisi'. Ayah kita menjelaskan dirinya seperti apa adanya dia, melalui keseluruhan hidupnya yang ia berikan untuk kita. Tanpa banyak kata keterangan, tanpa banyak tafsiran, tanpa banyak lampiran. Itulah yang disebut dengan "Cara ayah kita mencintai kita".

Di tahun-tahun yang sulit membesarkan kita, ayah kita selalu punya jalan untuk optimis. Ia punya caranya sendiri untuk yakin bahwa setelah gelap yang pekat, subuh segera tiba. Dan siang yang terang menjadi gamblang. Meskipun itu hanya tertangkap dalam kata-kata sederhana yang itu-itu saja, "Semoga" atau "Mudah-mudahan".

Tapi hidup terus berjalan dan kita pun tetap tumbuh gemuk-gemuk hingga kini. Setidaknya tidak terlampau kurus yang sangat-sangat. Di tahun-tahun yang lapang, saat beberapa nikmat berkenan datang, ayah kita selalu tahu bagaimana bersyukur. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia selalu jujur berkata, bahwa karena ada kita, anak-anaknya, Allah membagi untuknya rizqi dan karunia.

Setiap ayah selalu merasa rizqinya ada, sebagian karena kita anaknya. Sementara kita jarang yang meyakini bahwa rizqi kita ada, lantaran ada orang tua kita. Hampir setiap ayah mengambil sisi tanggung jawabnya sebagai ayah mendahului apa yang bisa ia nikmati sebagai ayah. Maka tak bisa dipungkiri, sering konsekuensi dari itu tergambar dalam sikap-sikapnya yang khas dalam membimbing kita, memperlakukan kita, dan menyertai kita. Sebagai imbalannya, Islam melarang seorang anak menasabkan dirinya kepada selain ayahnya. Tapi kita terlalu lambat memahami, bahwa itu yang disebut, sekali lagi, "Ayah kita punya caranya sendiri dalam mencintai kita".

Dan seperti inilah hasilnya, kita-kita hari ini. Dahulu ayah kita mencintai kita dengan apa adanya, tapi ketulusannya, kekuatan doanya, mampu mengantarkan kita sejauh ini, membuat kita sampai di sini. Kini kita berlimpah informasi, berlimpah ilmu, berlimpah pengetahuan, tapi cara kita mencintai sangatlah dangkal. Ayah adalah bahasa cinta yang kosa katanya berbeda.

Ayah adalah mata air cinta yang narasi kemasannya berbeda. Semoga belum terlambat bagi kita untuk memahami, betapa ayah kita punya caranya sendiri dalam mencintai kita...

Taken from: Tarbawi

No comments:

Post a Comment