Tuesday, May 8, 2012

Impression Words from Impression Person

Finally, setelah mengingat-ingat beberapa lama, kutemukan juga pengalaman berkesan dari orang yang berkesan yang mungkin akan kulupakan. Oleh karena itu, aku pun bermaksud menulisnya agar tidak lupa. Kalaupun lupa, aku bisa mengingatnya kembali dengan bantuan tulisan ini...

Pengalaman ini terjadi ketika aku menghabiskan liburanku selama lebih dari 2 hari di Krui, Liwa, Lampung Barat. Aku berangkat ke sana bersama dua orang rekan kerja dan seorang teman dari rekan kerja yang semuanya perempuan. Kami berangkat ke Krui dengan travel dan menghabiskan waktu sekitar lima setengah jam untuk sampai di sana. Rencananya kami akan menginap di cottage milik salah satu rekan kerja kami (foreign teacher) yaitu Mr Zane. Beliau berasal dari California, USA tapi lebih mencintai Indonesia, khususnya Krui.

Kami tiba di Krui pukul 17.30 WIB. Setibanya di sana, ternyata Mr Zane sedang bermain-main di pantai bersama dua orang anaknya, Sarah dan Alex. Dari wajahnya, terlihat jelas kalau Mr Zane sangat senang karena akan menghabiskan beberapa hari liburan bersama kami. Dengan senang hati ia bercerita tentang istrinya yang tidak suka kalau lantai dan tempat tidur kotor oleh pasir karena dirinya yang sering masuk-keluar cottage tanpa alas. Dengan bangganya ia bilang, "Saya nggak suka kalau lantai atau tempat tidurnya dibersihkan. Biar aja banyak pasirnya. Karena kita kan anak pantai".

Hahaha... Sungguh aneh...

Nah, lalu di manakah cerita berkesan itu? Hmm...

Cerita berkesan ini bermula ketika kami makan malam. Kebetulan saat itu ada tiga orang bule tamu Mr Zane yang juga menginap di cottage yang sama dengan kami. Siangnya, kami sempat jalan-jalan dengan jeep melewati sungai yang banyak batu dan pinggir pantai. Menegangkan tapi menyenangkan.. Tapi dalam perjalanan tersebut, Alex tidak ikut. Sarah bilang ia ngambek dengan alasan ia kehabisan celana dalam (celana dalamnya basah semua karena ia pakai untuk berenang di pantai)..

Pada saat makan malam, Alex belum hadir. Kemudian Mr Zane pun menanyakannya pada Sarah. Dengan bahasanya yang patah-patah, katanya "Sarah, mana Alex?"

"Alex lagi ngambek" jawab Sarah.

"Ngambek? Why?" tanya Mr Zane lagi.

"Soalnya....." Sarah tidak melanjutkan kalimatnya. Sepertinya ia bingung bagaimana menjawabnya karena ada tiga orang bule bersama kami. "Lucu" katanya.

"Hei, apanya yang lucu? Itu tidak lucu kalau menyakitkan bagi orang lain" kata Mr Zane sambil mengambil sayur di depannya.

Well, that's the story. Mungkin untuk sebagian orang nggak menarik. Tapi buatku, itu sangat sangat menarik. Yang menarik adalah pesan yang disampaikan oleh Mr Zane.

Wow! Mungkin kita nggak pernah kepikiran, ya? Kalimat sederhana tapi maknanya luar biasa.. Secara nggak langsung, ia mengajarkan Sarah (yang masih kelas 5 sekolah dasar) untuk menghargai orang lain, terutama adiknya..

Hmmm... Mudah-mudahan kita juga bisa belajar untuk berkata lebih bermakna dan bermanfaat, ya... Dimulai dari hal-hal sederhana...

Ayah adalah Ayah

Ayah adalah ayah. Dengan pengecualian pada kasus-kasus yang membuat seorang anak tidak beruntung lantaran berayah aneh. Tapi di bawah ufuk dan cakrawala kehidupan yang natural dan terbentang luas, ayah adalah ayah.

Pada bahunya yang melindungi, pada matanya yang mewanti-wanti, pada suaranya yang memperjelas batas-batas, pada bentuknya yang menandai, pada kata-katanya yang mudah, ayah kita adalah ayah dengan sebenar-benar ayah... Tentu banyak kurang di sana-sini. Tapi tidak adil rasanya kekurangan itu kita timpakan semua pada ayah kita sebagai pengurang berlebihan atas apa yang seharusnya kita tahu dan kita mengerti tentang ayah kita.

Faktanya, kita sering gagal menampung seutuhnya apa yang ayah definisikan tentang dirinya. Sebab, ayah kita sering 'mendefinisikan dirinya tanpa definisi'. Ayah kita menjelaskan dirinya seperti apa adanya dia, melalui keseluruhan hidupnya yang ia berikan untuk kita. Tanpa banyak kata keterangan, tanpa banyak tafsiran, tanpa banyak lampiran. Itulah yang disebut dengan "Cara ayah kita mencintai kita".

Di tahun-tahun yang sulit membesarkan kita, ayah kita selalu punya jalan untuk optimis. Ia punya caranya sendiri untuk yakin bahwa setelah gelap yang pekat, subuh segera tiba. Dan siang yang terang menjadi gamblang. Meskipun itu hanya tertangkap dalam kata-kata sederhana yang itu-itu saja, "Semoga" atau "Mudah-mudahan".

Tapi hidup terus berjalan dan kita pun tetap tumbuh gemuk-gemuk hingga kini. Setidaknya tidak terlampau kurus yang sangat-sangat. Di tahun-tahun yang lapang, saat beberapa nikmat berkenan datang, ayah kita selalu tahu bagaimana bersyukur. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia selalu jujur berkata, bahwa karena ada kita, anak-anaknya, Allah membagi untuknya rizqi dan karunia.

Setiap ayah selalu merasa rizqinya ada, sebagian karena kita anaknya. Sementara kita jarang yang meyakini bahwa rizqi kita ada, lantaran ada orang tua kita. Hampir setiap ayah mengambil sisi tanggung jawabnya sebagai ayah mendahului apa yang bisa ia nikmati sebagai ayah. Maka tak bisa dipungkiri, sering konsekuensi dari itu tergambar dalam sikap-sikapnya yang khas dalam membimbing kita, memperlakukan kita, dan menyertai kita. Sebagai imbalannya, Islam melarang seorang anak menasabkan dirinya kepada selain ayahnya. Tapi kita terlalu lambat memahami, bahwa itu yang disebut, sekali lagi, "Ayah kita punya caranya sendiri dalam mencintai kita".

Dan seperti inilah hasilnya, kita-kita hari ini. Dahulu ayah kita mencintai kita dengan apa adanya, tapi ketulusannya, kekuatan doanya, mampu mengantarkan kita sejauh ini, membuat kita sampai di sini. Kini kita berlimpah informasi, berlimpah ilmu, berlimpah pengetahuan, tapi cara kita mencintai sangatlah dangkal. Ayah adalah bahasa cinta yang kosa katanya berbeda.

Ayah adalah mata air cinta yang narasi kemasannya berbeda. Semoga belum terlambat bagi kita untuk memahami, betapa ayah kita punya caranya sendiri dalam mencintai kita...

Taken from: Tarbawi

Keluasan Jiwa Ayah untuk Kegagalan Kita

Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tapi sesuatu yang tak terucapkan...
(Will Roger S)

Seorang laki-laki setengah baya duduk di atas tempat tidur. Wajahnya sumringah, penuh senyuman. Isterinya turut duduk di sampingnya. Dia memerhatikan lemari pakaian yang ada di depannya. Tatapannya berpendar pada seisi lemari pakaiannya. Dia mencari satu pakaian terbaik yang akan ia kenakan untuk menghadiri wisuda anak pertamanya. Satu per satu pakaian di dalam lemari tuanya dia keluarkan. Ada kemeja polos dengan warna usang, baju batik lengan panjang dengan dominasi warna cokelat muda, atau jas hijau berdebu yang terakhir kali dipakai ketika menghadiri acara pernikahan kerabat lima tahun yang lalu. Bersama istrinya, dia memilah-milah pakaian mana yang akan dia kenakan. Sampai akhirnya, pilihan jatuh pada jas tua berdebu yang kantong-kantongnya sudah mulai sobek.

"Nanti dijahit ya, Bu" begitu pinta laki-laki itu kepada istrinya.

Sang anak datang ke kamar orang tuanya. Dengan wajah kusut, seperti hendak menyampaikan sesuatu. Tapi masih tertahan di ujung lidahnya. Dirinya terancam gagal mengikuti sidang skripsi karena ada persyaratan yang belum bisa dipenuhi. Sang anak, melihat suasana hati dua orang yang paling dicintainya itu bahagia, tidak tega menyampaikan hal ini kepada mereka. Si anak mulai dengan pertanyaan basa-basi.

"Ayah, ini jas siapa?" tanya sang anak sambil mengambil posisi tempat duduk di samping ayahnya.

"Jas Ayah" jawabnya sumringah.

"Untuk apa dikeluarkan?" tanya buah hatinya penasaran.

Lantas ayahnya menjawab keheranan, "Lho, bukannya kamu mau wisuda?"

Si anak terdiam, cukup lama. Dalam diamnya dia menyusun kata-kata terbaik. Tiba-tiba air matanya mengalir. Sambil terisak, anak itu hanya berucap, "Maafkan saya, Ayah"

Sang ibu dengan spontan memeluk anaknya. Sementara sang ayah hanya menatap dan menepuk pundak anak itu. Sambil menatapnya tanpa kata-kata.

Sebenarnya si anak sangat terpukul dengan gagalnya dia menyelesaikan skripsi seperti yang ia janjikan kepada orang tuanya. Akhirnya, ia mengambil jas milik ayahnya dan meletakkan di dalam kamarnya untuk memotivasi dirinya agar bisa lulus di semester berikutnya. Ketika perasaan takut kalau-kalau dirinya tidak lulus itu datang, saat melihat jas itu tergantung di kamarnya, ia akan memperoleh energi baru dari jas ayahnya. Meskipun kedua orang tuanya tidak pernah menuntut kapan dia harus lulus, atau berapa nilai minimal yang harus dicapai, toh akhirnya, dia mampu lulus dengan nilai yang cukup baik.

To be continued... :)

Taken from: Tarbawi