Tuesday, January 27, 2015

#1 (Belum ada judul)

Sejenak ia terhenti. Tatapnya tertuju pada hiruk pikuk keramaian dan bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang. Gedung-gedung bertingkat di seberang jalan tak mampu melindunginya dari sengatan panas mentari. Sesekali tangannya mengusap peluh yang tak berhenti mengalir di pelipis mata. Tangan kirinya menggenggam tas jinjing hitam erat-erat, seakan ada barang berharga di sana. Ia gusar. Hatinya bimbang. Ke manakah lagi ia hendak melangkah? Tak ada lagikah tempat yang dapat menerimanya? Oh, alangkah susahnya mempertahankan hidup.
Ini pertama kalinya ia berada di kota metropolitan sendirian. Tak ada tempat singgah. Tak ada tempat bernaung. Sahabat tak punya, apatah saudara.
Haruskah aku kembali? Ah, apa kata tetangga. Juga Emak yang telah melepas kepergiannya dengan linangan air mata.
Janu, nama lelaki itu, merasa hidupnya tak seberuntung tetangganya, Mudin. Sudah hampir dua tahun Mudin bekerja sebagai TKI di Malaysia, setidaknya begitulah kabar yang didapat dari istrinya. Setiap bulan, Mudin selalu mengirimkan uang untuk istri dan keempat anaknya. Itu pun dalam jumlah yang lumayan besar. Meski istri Mudin tak pernah bercerita berapa besar jumlah yang dikirim Mudin, Janu dapat melihat dari uang jajan yang diberikan istri Mudin untuk anak-anak mereka.
Janu duduk di bawah pohon dekat zebra cross tempatnya berdiri tadi. Jarak lima meter darinya ada pedagang kaki lima. Dengan cermat ia memperhatikan warung kecil itu. Pedagangnya seorang bapak paruh baya.
Tentu bapak tua itu telah banyak makan asam garam selama hidup di kota ini. Hendaknya aku bertanya padanya.
Janu mendekati bapak pedagang kaki lima. Si Bapak sedang asyik mengisi TTS. Ia tak menyadari kehadiran Janu. Janu merogoh saku celana. Didapatinya selembar uang lima ribuan. Uang yang dimilikinya tinggal selembar itu. Kepalanya pusing memikirkan hendak makan apa ia esok, atau setidaknya yang terdekat adalah makan malam.
"Pak, berapa harga minuman ini?" tanya Janu pada Bapak pedagang kaki lima.
"Dua ribu saja, Nak." jawab Si Bapak tanpa mengalihkan pandangannya dari buku TTS.
Janu terkejut. "Biasanya cuma seribu, Pak. Kok mahal sekali?"
"Biasanya itu di mana, Nak? Ini kota besar. Apa-apa serba mahal. Kalau tidak mau beli ya sudah." Si Bapak tetap sibuk dengan TTS-nya.
Oh, Tuhan, malang benar nasibku...
Melihat sikap pedagang tersebut, Janu mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia memasukkan lagi uangnya ke saku. Matanya nanar memandangi jalanan yang masih saja ramai. Entah di mana ia akan tidur malam ini.
Janu memutuskan untuk meninggalkan si pedagang kaki lima yang tak ramah.
Beginikah rupanya hidup di kota besar? Sungguh memilukan...
Janu terus melangkah mengikuti kemauan kakinya. Tanpa alamat dan tanpa tujuan. Tubuhnya mulai lelah. Langkahnya pun mulai gontai.
Dari kejauhan, ia melihat sebuah masjid. Ia telah membayangkan betapa nikmat membaringkan tubuh barang semenit dua menit. Tentu tak kan ada yang melarang. Toh, bisa pula ia dikatakan sebagai musafir.
Di muka masjid, ia ingat pesan Pak Haji, guru ngaji di kampungnya.
"Kalau hendak masuk masjid, berdoalah. Niscaya engkau mendapat berkah." kata Pak Haji saat itu.
Sayangnya Janu tidak hafal doa masuk masjid.
Ah, Tuhan itu Mahabaik. Dengan bismillah saja kurasa cukup...
Janu melangkahkan kaki kirinya hendak melewati pintu, namun terhenti. Ia teringat lagi kata Pak Haji.
"Rasulullah mengajarkan kita untuk mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid."
Janu kembali ke teras. Kemudian menyusun langkahnya dengan baik agar kaki kanan terlebih dahulu yang masuk. Kemudian ia mengucap basmallah.
Lamat-lamat Janu duduk di sudut masjid. Ia mengatur posisi tubuhnya agar dapat berbaring dengan nyaman dan menggunakan tas jinjingnya sebagai alas kepala.
Angin sepoi-sepoi berhembus melalui teralis jendela. Membelai kulit Janu dengan lembutnya. Pelan-pelan mata Janu terasa berat. Hingga akhirnya Janu pun tertidur dengan pulas. Perjalanan panjang hari ini membuatnya begitu lelah.
Janu membuka matanya perlahan ketika seorang kakek mengguncang-guncang tubuhnya.
"Nak, waktu Ashar sudah masuk. Mari kita shalat." ajak kakek tersebut. Si kakek menghidupkan pengeras suara. Sepertinya hendak mengumandangkan adzan.
Janu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia bangkit dan berjalan ke tempat wudhu. Namun sayangnya, Janu lupa urutan berwudhu. Ia celingukan, berharap ada orang yang juga hendak berwudhu.
Setelah beberapa menit, yang ditunggu tak kunjung datang. Adzan pun telah selesai dikumandangkan. Diintipnya si kakek yang tadi membangunkannya. Ia sedang shalat.
Ah, si kakek sudah shalat. Bagaimana denganku? Sedangkan aku tak hafal urutan shalat...
Akhirnya Janu mengambil wudhu tanpa urutan. Ia asal saja membasuh wajah, kepala, tangan, dan kakinya. Setelah selesai dengan wudhunya yang tak jelas, ia memasuki masjid dan berdiri di belakang si kakek yang sedang duduk bersila.
"Mari kita mulai." Si kakek berdiri dan bersiap di tempat imam. "Silakan iqamah, Nak." lanjutnya.
Janu bingung.
Bagaimana mungkin aku hendak iqamah? Bacaannya saja tak tahu...
Karena Janu tak jua mengumandangkan iqamah, si kakek menoleh ke arahnya. Janu menatap si kakek dengan malu.
"Maaf, Kek. Sa-saya tidak hafal." katanya merasa bersalah.
Si kakek terdiam. Kemudian ia menghadap kiblat dan mengumandangkan iqamah. Setelah selesai, ia menggamit tangan Janu dan memintanya berdiri di samping kanannya, namun agak sedikit ke belakang.
Janu tak mengerti maksud kakek tersebut.
Bukankah makmum seharusnya berdiri di belakang imam?
Namun Janu tetap mengikuti kemauan si kakek tanpa banyak tanya.
Shalat yang hanya empat rakaat terasa amat panjang bagi Janu. Sudah lama sekali sejak ia berhenti mengaji di surau dekat rumahnya, ia tak mengaji maupun shalat. Kira-kira sudah 15 tahun lamanya.
Selesai shalat, Janu bersalaman dengan si kakek. Ia bangkit dan hendak mengambil tas jinjingnya. Namun alangkah terkejutnya ia ketika tak ia dapati tas jinjingnya di tempat ia berbaring tadi.
Wajahnya pucat pasi.
"Kakek, apakah kau melihat tas yang kuletakkan di sini tadi?" tanyanya sambil menghampiri si kakek yang sedang berdoa.
Si kakek tak mengindahkan pertanyaan Janu. Ia tetap berdoa dengan khusyuknya. Sementara Janu tak sabar menunggu jawaban dari si kakek, ia mengguncang-guncangkan tubuh orang tua di depannya itu.
"Ada apa gerangan, Nak?" tanya si kakek setelah selesai dengan doanya.
Janu tampak sangat putus asa. Dadanya sakit menahan tangis. Ia berharap si kakek menyimpankan tas jinjing itu untuknya.
"Tas..." katanya terhenti sejenak, kemudian, "apakah kau melihat tas jinjingku?"
Dengan wajahnya yang tenang, si kakek menjawab. "Sejak aku datang, aku tak melihat engkau bersama tas yang kau maksud. Bahkan saat kau tertidur."
Hati Janu hancur berantakan.
"Jadi?" suara Janu mulai tercekat. Berat baginya untuk melanjutkan pertanyaan.
"Apakah tasmu hilang?" tanya si kakek.
Kepala Janu tertunduk. Isak tangis tak dapat ia bendung.
Ya, Tuhan, mengapa Engkau mengujiku seperti ini?
"Sabar ya, Nak. Lain kali hati-hati. Di kota besar seperti ini, kita tak bisa meletakkan barang sembarangan." pesan si kakek sambil mengusap bahu Janu dengan lembut. Kemudian si kakek beranjak pergi meninggalkan Janu yang malang.
Janu membiarkan dirinya larut dalam tangis dan kesedihan. 
Haruskah aku tinggalkan kota ini dan kembali ke kampung halaman? Namun, dengan apa aku kembali? Uang saja aku tak punya...

Tiba-tiba ia teringat selembar lima ribuan yang ada di saku celananya. Dirogoh saku celananya dan ia dapatkan uang itu masih di sana.

***terhenti.. lagi-lagi..