Sejenak
ia terhenti. Tatapnya tertuju pada hiruk pikuk keramaian dan bisingnya suara
kendaraan yang lalu lalang. Gedung-gedung bertingkat di seberang jalan tak
mampu melindunginya dari sengatan panas mentari. Sesekali tangannya mengusap
peluh yang tak berhenti mengalir di pelipis mata. Tangan kirinya menggenggam
tas jinjing hitam erat-erat, seakan ada barang berharga di sana. Ia gusar.
Hatinya bimbang. Ke manakah lagi ia hendak melangkah? Tak ada lagikah tempat
yang dapat menerimanya? Oh, alangkah susahnya mempertahankan hidup.
Ini
pertama kalinya ia berada di kota metropolitan sendirian. Tak ada tempat
singgah. Tak ada tempat bernaung. Sahabat tak punya, apatah saudara.
Haruskah
aku kembali? Ah, apa kata tetangga. Juga Emak yang telah melepas kepergiannya
dengan linangan air mata.
Janu,
nama lelaki itu, merasa hidupnya tak seberuntung tetangganya, Mudin. Sudah
hampir dua tahun Mudin bekerja sebagai TKI di Malaysia, setidaknya begitulah
kabar yang didapat dari istrinya. Setiap bulan, Mudin selalu mengirimkan uang
untuk istri dan keempat anaknya. Itu pun dalam jumlah yang lumayan besar. Meski
istri Mudin tak pernah bercerita berapa besar jumlah yang dikirim Mudin, Janu
dapat melihat dari uang jajan yang diberikan istri Mudin untuk anak-anak
mereka.
Janu
duduk di bawah pohon dekat zebra cross tempatnya berdiri tadi. Jarak
lima meter darinya ada pedagang kaki lima. Dengan cermat ia memperhatikan
warung kecil itu. Pedagangnya seorang bapak paruh baya.
Tentu
bapak tua itu telah banyak makan asam garam selama hidup di kota ini. Hendaknya
aku bertanya padanya.
Janu
mendekati bapak pedagang kaki lima. Si Bapak sedang asyik mengisi TTS. Ia tak
menyadari kehadiran Janu. Janu merogoh saku celana. Didapatinya selembar uang
lima ribuan. Uang yang dimilikinya tinggal selembar itu. Kepalanya pusing
memikirkan hendak makan apa ia esok, atau setidaknya yang terdekat adalah makan
malam.
"Pak,
berapa harga minuman ini?" tanya Janu pada Bapak pedagang kaki lima.
"Dua
ribu saja, Nak." jawab Si Bapak tanpa mengalihkan pandangannya dari buku
TTS.
Janu
terkejut. "Biasanya cuma seribu, Pak. Kok mahal sekali?"
"Biasanya
itu di mana, Nak? Ini kota besar. Apa-apa serba mahal. Kalau tidak mau beli ya
sudah." Si Bapak tetap sibuk dengan TTS-nya.
Oh,
Tuhan, malang benar nasibku...
Melihat
sikap pedagang tersebut, Janu mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia
memasukkan lagi uangnya ke saku. Matanya nanar memandangi jalanan yang masih
saja ramai. Entah di mana ia akan tidur malam ini.
Janu
memutuskan untuk meninggalkan si pedagang kaki lima yang tak ramah.
Beginikah
rupanya hidup di kota besar? Sungguh memilukan...
Janu
terus melangkah mengikuti kemauan kakinya. Tanpa alamat dan tanpa tujuan.
Tubuhnya mulai lelah. Langkahnya pun mulai gontai.
Dari
kejauhan, ia melihat sebuah masjid. Ia telah membayangkan betapa nikmat
membaringkan tubuh barang semenit dua menit. Tentu tak kan ada yang melarang.
Toh, bisa pula ia dikatakan sebagai musafir.
Di
muka masjid, ia ingat pesan Pak Haji, guru ngaji di kampungnya.
"Kalau
hendak masuk masjid, berdoalah. Niscaya engkau mendapat berkah." kata Pak
Haji saat itu.
Sayangnya
Janu tidak hafal doa masuk masjid.
Ah,
Tuhan itu Mahabaik. Dengan bismillah saja kurasa cukup...
Janu
melangkahkan kaki kirinya hendak melewati pintu, namun terhenti. Ia teringat
lagi kata Pak Haji.
"Rasulullah
mengajarkan kita untuk mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid."
Janu
kembali ke teras. Kemudian menyusun langkahnya dengan baik agar kaki kanan
terlebih dahulu yang masuk. Kemudian ia mengucap basmallah.
Lamat-lamat
Janu duduk di sudut masjid. Ia mengatur posisi tubuhnya agar dapat berbaring
dengan nyaman dan menggunakan tas jinjingnya sebagai alas kepala.
Angin
sepoi-sepoi berhembus melalui teralis jendela. Membelai kulit Janu dengan
lembutnya. Pelan-pelan mata Janu terasa berat. Hingga akhirnya Janu pun
tertidur dengan pulas. Perjalanan panjang hari ini membuatnya begitu lelah.
Janu
membuka matanya perlahan ketika seorang kakek mengguncang-guncang tubuhnya.
"Nak,
waktu Ashar sudah masuk. Mari kita shalat." ajak kakek tersebut. Si
kakek menghidupkan pengeras suara. Sepertinya hendak mengumandangkan adzan.
Janu
mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia bangkit dan berjalan ke tempat wudhu.
Namun sayangnya, Janu lupa urutan berwudhu. Ia celingukan, berharap
ada orang yang juga hendak berwudhu.
Setelah
beberapa menit, yang ditunggu tak kunjung datang. Adzan pun telah
selesai dikumandangkan. Diintipnya si kakek yang tadi membangunkannya. Ia
sedang shalat.
Ah,
si kakek sudah shalat. Bagaimana denganku? Sedangkan aku tak hafal urutan
shalat...
Akhirnya
Janu mengambil wudhu tanpa urutan. Ia asal saja membasuh wajah,
kepala, tangan, dan kakinya. Setelah selesai dengan wudhunya yang tak
jelas, ia memasuki masjid dan berdiri di belakang si kakek yang sedang duduk
bersila.
"Mari
kita mulai." Si kakek berdiri dan bersiap di tempat imam.
"Silakan iqamah, Nak." lanjutnya.
Janu
bingung.
Bagaimana
mungkin aku hendak iqamah? Bacaannya saja tak tahu...
Karena
Janu tak jua mengumandangkan iqamah, si kakek menoleh ke arahnya. Janu
menatap si kakek dengan malu.
"Maaf,
Kek. Sa-saya tidak hafal." katanya merasa bersalah.
Si
kakek terdiam. Kemudian ia menghadap kiblat dan mengumandangkan iqamah.
Setelah selesai, ia menggamit tangan Janu dan memintanya berdiri di samping
kanannya, namun agak sedikit ke belakang.
Janu
tak mengerti maksud kakek tersebut.
Bukankah
makmum seharusnya berdiri di belakang imam?
Namun
Janu tetap mengikuti kemauan si kakek tanpa banyak tanya.
Shalat yang
hanya empat rakaat terasa amat panjang bagi Janu. Sudah lama sekali
sejak ia berhenti mengaji di surau dekat rumahnya, ia tak mengaji maupun shalat.
Kira-kira sudah 15 tahun lamanya.
Selesai
shalat, Janu bersalaman dengan si kakek. Ia bangkit dan hendak mengambil
tas jinjingnya. Namun alangkah terkejutnya ia ketika tak ia dapati tas
jinjingnya di tempat ia berbaring tadi.
Wajahnya
pucat pasi.
"Kakek,
apakah kau melihat tas yang kuletakkan di sini tadi?" tanyanya sambil
menghampiri si kakek yang sedang berdoa.
Si
kakek tak mengindahkan pertanyaan Janu. Ia tetap berdoa dengan khusyuknya.
Sementara Janu tak sabar menunggu jawaban dari si kakek, ia
mengguncang-guncangkan tubuh orang tua di depannya itu.
"Ada
apa gerangan, Nak?" tanya si kakek setelah selesai dengan doanya.
Janu
tampak sangat putus asa. Dadanya sakit menahan tangis. Ia berharap si kakek menyimpankan
tas jinjing itu untuknya.
"Tas..."
katanya terhenti sejenak, kemudian, "apakah kau melihat tas
jinjingku?"
Dengan
wajahnya yang tenang, si kakek menjawab. "Sejak aku datang, aku tak
melihat engkau bersama tas yang kau maksud. Bahkan saat kau tertidur."
Hati
Janu hancur berantakan.
"Jadi?"
suara Janu mulai tercekat. Berat baginya untuk melanjutkan pertanyaan.
"Apakah
tasmu hilang?" tanya si kakek.
Kepala
Janu tertunduk. Isak tangis tak dapat ia bendung.
Ya,
Tuhan, mengapa Engkau mengujiku seperti ini?
"Sabar
ya, Nak. Lain kali hati-hati. Di kota besar seperti ini, kita tak bisa
meletakkan barang sembarangan." pesan si kakek sambil mengusap bahu Janu
dengan lembut. Kemudian si kakek beranjak pergi meninggalkan Janu yang malang.
Janu
membiarkan dirinya larut dalam tangis dan kesedihan.
Haruskah
aku tinggalkan kota ini dan kembali ke kampung halaman? Namun, dengan apa aku
kembali? Uang saja aku tak punya...
Tiba-tiba
ia teringat selembar lima ribuan yang ada di saku celananya. Dirogoh saku
celananya dan ia dapatkan uang itu masih di sana.
***terhenti.. lagi-lagi..